Bukti Hilang, Team Prabowo Menggugat dan Mengajukan Banding ke MK

Swara Jalanan - Opini kali ini sesuatu yang perbincangan yang sangat panas dalam dunia politik dan hukum mengenai PEMILU 2014 kemarin. Bahwa Team pendukung dari nomor 1 yaitu Prabowo dan Hatta bersi kukuh terkait dengan Bukti Hilang, Team Prabowo Menggugat dan Mengajukan Banding ke MK . Sebab team Prabowo dan Hatta ini setidaknya dikalahkan dengan 8 juta suara.
 
 
Seperti tiada henti hentinya Team Pemenangan Prabowo untuk mencari – cari alasan dalam pemenangan pipres 2014 kemarin, sebelumnya kubu Prabowo menyatakan menolak hasil Pilpres yang dilaksanakan KPU, dan akan menggugat dan mengajukan banding ke MK, dengan barang bukti yang lengkap.

Entah gertakan semata atau sebuah ide gila yang dirancang oleh mereka, seperti yang terlihat saat ini, semua terlihat seperti sekenario naskah drama yang didalangi para aktor-aktor hebat, tetapi kita tidak tau mana yang benar dan mana yang salah, menurut berita yang dilansir beritasatu.com, team prabowo menyatakan

“Kami hari ini melaporkan ke pihak kepolisian, atas hilangnya bukti-bukti dokumen yang menjadi bukti adanya kecurangan dalam pilpres 9 Juli lalu,” ujar Muhamad Taufik, Ketua Pemenangan Prabowo-Hatta DKI Jakarta, saat konferensi pers di Jalan Talang, Jakarta Pusat, Kamis (24/7).

Taufik yang dalam kesempatan itu didampingi Ketua DPW PKS DKI Jakarta Selamat Nurdin, mengatakan, dokumen berupa bukti adanya pemilih ilegal itu, sedianya akan diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bukti atas kecurangan. “Namun sekarang bukti itu hilang,” katanya.

Lebih lanjut Taufik menyayangkan, sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta yang mengabaikan rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI untuk mengkroscek dugaan pelanggaran di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Ia menduga, telah terjadi persekongkolan terkait dengan sikap KPU DKI yang enggan mengkroscek sebanyak 5.802 TPS di pemilihan presiden dan wakil presiden ini, sebagaimana direkomendasikan oleh Bawaslu DKI. “Saya menduga ada persekongkolan jahat. Enggak boleh ada pemilih dari daerah lain tanpa A5, ini kan malah dibiarkan,” tuturnya.

Berbagai alasan yang disebutkan oleh KPU DKI menyangkut diabaikannya rekomendasi Bawaslu, kata dia, hanya akal-akalan saja. Mengingat dugaan pelanggaran itu direkomendasikan sendiri oleh Bawaslu dan ini menjadi pertanyaan kenapa KPU DKI tidak mau melaksanakannya.

“Jadi rekomendasinya sudah jelas jadi hal prinsip dikalahkan hal teknis. Itu karena dilakukan secara persekongkolan. Kita enggak ingin demokrasi ini dirampok,” tegasnya.

Ketua DPW PKS DKI Jakarta, Selamat Nurdin, menegaskan, upayanya untuk menuntaskan dugaan pelanggaran pemilu ini bukan hanya sekadar menang atau kalah, melainkan semata-mata ingin menciptakan pemilu yang transparan, jujur, dan adil. “Karena itu kami ke DKPP melaporkan hal itu. Kan ini (KPU) mereka melanggar aturannya sendiri,” tuturnya.
 
Thanks To : beritakotametro.co.id dan beritasatu.com(H-14/YUD

Testimoni Pelaku Kejahatan Pemerasan Para TKI di Bandara Soekarno Hatta

Swara Jalanan - Opini kali ini sesuatu yang perbincangan yang sangat panas dalam dunia politik dan hukum akan Testimoni Pelaku Kejahatan Pemerasan Para TKI di Bandara Soekarno Hatta. Sebab Mutmainah menyerukan swaranya ketidak nyamanannya beliau di negeri sendiri, kemudian sangat disayangkan menurut mutmainah penanganan yang secara lambat dilakukan oleh pihak yang berwajib atas khasus Tragedi Pemerasan Di Bandara Soekarno Hatta.



Original Posted By profkrt
ane jg punya pengalaman ga enak di bnpƦ2tki ngurus saudara ane ud 1thn ga kelar2,yg bikin ane marah,mereka (bnp2tki) slalu menanyakan no paspor no visa dll yg kebetulan ane ga punya copy nya,walau pun pada akhir'y ane tau data2 tsb ada di mereka (bnp2tki) mereka slalu berkilah akan susah mengurus klo ga ada dokumen lengkap,padahal dokumen smua ada di situ,ane ga habis pikir dan skarang kasus'y ud di limpah'n ke kemenlu
Original Posted By VTECmaniak ►
Kalau itu semua katanya oknum doank, artinya BNP2TKI itu isinya oknum2 semua dunk?
Gw ada temen yg kerja jd PNS di BNP2TKI, dalam 1minggu bisa sampai 2x dinas ke daerah2. gw tny ke temen aku itu, koq sering amat dinas ke luar daerah, katanya dalihnya buat penyuluhan ke TKI2, ternyata penyuluhan ke TKI2 itu hanya kedok, sebenernya itu adalah buat habisin anggaran yang sudah disediakan oleh BNP2TKI, trus dari uang jalan, uang hotel, dsb, nanti temen gw ada bagi2 ke bagian keuangan (supaya gampang keluar dana) dan ke atasannya supaya meng-ACC rencana habis2in anggaran pemerintah.
Bener2 semua PNS dan jajarannya, ga cuma di BNP2TKI itu mafia semua
Original Posted By ikmaljaya ►
saudara ane juga pernah jadi korban di terminal 3 bandara sukarno hata....
premannya banyak bgt.....
sebenarnya BNP2TKI sih gak ada niat meres para tki.... tapi terjdi pembiaran terhadap oknum2 yg nakal di bandara...
mudah2an bapak2 yg punya wewenang thd masalah ini, membaca trit ini.... dan segera menindak oknum2 yg nakal tsb.....
Original Posted By misseducation ►
Bener banget nih...
Waktu itu ane balik dari LN, ada TKI yang minta tolong sama ane...
Dia bilang boleh ngikut ane apa gk pas turun dari pesawat... Ane bingung ikut apa maksudnya, akhirnya diceritain lah kalo mereka kena pungli dll..
Akhirnya itu TKI keluar dari imigrasi bareng ane...
Emang susah jadi orang bener di Indonesia, udah kerja susah" eh taunya dipalakin..
Original Posted By dunungan ►
betul gan, kebetulan sodara ane pernah diperlakukan spt yg diceritain diatas, trus abis dari bandara tki dianter pake mobil khusus yg bayarannya sangat mahal, nah pas di rest area khusus mobil itu berhenti para tki diperas lagi, ini bukan hal baru loh...ngeri nih sdm kita gmana mau maju
Original Posted By e2k ►
Memang ini semua udah niat dr pemerintah yg emang gak mau ngebersihin beginian.
Dimulai dari awalpun udah DISENGAJA untuk di"pisah"kan..
Semua org mau ke luar negeri harus punya passport/paspor.
Sudah sepantasnya semua warga Indonesia mempunyai paspor yg sama.Laki-laki atau perempuan, tua muda, kaya miskin, untuk berwisata atau bekerja. JELAS kita semua warga negara berhak mempunyai paspor yg sama. Titik.Tapi kenyataannya. Passport pun udah dibedakan. TKI dan non TKI.
Passport TKI itu 24 halaman.
Passport non TKI itu 48 halaman.
Nah dari itu aja udah jelas2 emang sengaja dibedain.
Dengan adanya pembedaan itu, semakin gampanglah mereka TKI diperas.
Gak usah dibahas lg klo di bandara. Itu semua setoran juga setor ke atas makanya semua blaga buta. Alias SST sama sama tau.
Lalu waktu mereka mau perpanjang paspor. Sekali lg TKI bakal diperas sama oknum2 yg mata duitan.
Makanya sekali lg, klo emang mo dibersihin, ya hapus dululah itu pembedaan awal itu sendiri.

Mutmainah Masih Trauma Atas Tragedi Pemerasan di Bandara Soekarno-Hatta

Swara Jalanan - Opini kali ini sesuatu yang perbincangan yang sangat panas dalam dunia politik dan hukum akan Mutmainah Masih Trauma Atas Tragedi Pemerasan di Bandara Soekarno-Hatta. Sebab Mutmainah menyerukan swaranya ketidak nyamanannya beliau di negeri sendiri, kemudian sangat disayangkan menurut mutmainah penanganan yang secara lambat dilakukan oleh pihak yang berwajib atas khasus Tragedi Pemerasan Di Bandara Soekarno Hatta.


Bukan main senang hati Mutmainah ketika diberi cuti Lebaran oleh majikannya di Taiwan. Maklum, sudah tiga tahun ia tak pulang ke Tanah Air. Ia hendak mengunjungi rumah ibu angkatnya di Pasar Minggu, Jakarta selatan. Waktu itu bulan Agustus 2012. Mutmainah pulang dengan membawa pundi-pundi hartanya yang dikumpulkan selama bekerja dengan majikannya di Taiwan.

Apa daya, kegembiraan wanita asal Tegal itu harus sirna ketika tiba di Terminal 4 Bandara Soekarno Hatta. Mutmainah kaget ketika ia tak boleh pulang ke Pasar Minggu lantaran alamat yang tertera di KTP adalah di Tegal. Para petugas bandara langsung mengarahkannya untuk naik travel ke Tegal. "Ini pulangnya harus sesuai alamat, kalau mau ke tempat lain harus urus surat-surat dulu," ujar salah satu petugas pada Mutmainah.

Karena tak tahan ingin jumpa sang ibu angkat, Mutmainah menurut dan mengurus surat pindah kota tersebut dan diharuskan membayar untuk pengurusannya. Totalnya, ia harus merogoh kocek sebesar Rp 750 ribu hanya untuk perjalanan ke Pasar Minggu.

Kesialan Mutmainah tak hanya sampai di situ, para petugas kembali memaksanya untuk menukarkan uang. Untungnya, sebagian besar gajinya sudah ditransfer. Namun, teman-teman Mutmainah tak seberuntung dirinya, mereka dipaksa menukarkan uang ke money changer yang telah ditentukan petugas. Bahkan, Mutmainah melihat temannya sampai diminta membuka celana oleh petugas yang mencari uang. Hati Mutmainah hancur dibuatnya, apalagi ia melihat petugas polisi yang diam saja.

Selain Polisi, Mutmainah juga melihat petugas Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Bukannya menghalangi praktek pemerasan itu, petugas BNP2TKI malah ikut mengarahkan para TKI.

Setelah menunggu dari jam 4 pagi dan mengurus berbagai dokumen, akhirnya Mutmainah pulang juga ke Pasar Minggu. Ia mengira kesialannya akan selesai begitu tiba di rumah ibu angkatnya. Ternyata harapan Mutmainah kandas. Begitu mobil travel hampir sampai di tujuan, sang sopir meminta Mutmainah bersiap dan pindah duduk ke depan.

Ternyata, sang sopir tak mau ketinggalan memeras pejuang devisa ini. "Mbak, kan dari luar negeri, banyak uang. Bolehlah kita dibagi buat sedekah," ujar sang sopir. Sudah lelah dengan pengalamannya seharian, Mutmainah langsung menyodorkan Rp 100 ribu. Anehnya, sopir itu tak puas dan terus meminta tambahan 'sedekah'. Uang Mutmainah sebanyak Rp 300 ribu berpindah ke tangan supir.

Praktek pemerasan itu ternyata terulang kembali setahun kemudian. Saat itu Mutmainah pulang setelah bekerja di Kuala Lumpur, Malaysia. Dua kali diperas di negeri sendiri bikin Mutmainah trauma.

Belakangan, Mutmainah memutuskan untuk melaporkan praktek pemerasan yang dialaminya ke Migrant Care, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Hukum dan HAM. Namun tak ada kelanjutannya, hingga ia menonton berita kemarin, Sabtu, 26 Juli 2014 yang menayangkan inspeksi mendadak Komisi Pemberantasan Korupsi di terminal 4 Bandara Soekarno-Hatta.

Mutmainah tentunya senang akhirnya pemeresan di Bandara terungkap namun ia tetap menyayangkan lambatnya penanganan kasus ini. "Kenapa baru sekarang?" ujar Mutmainah.
TIKA PRIMANDARI

Berikut cuplikan yang diambil dari media ternama Tempo.co semoga berita yang dihadirkan kali ini sangat bermanfaat sekali bagi anda yang membacanya, jangan lupa untuk mengunjungi SWARA JALANAN (the street sound) | Swaranya orang orang Jalanan tentang Kebenaran, Keadilan dan Kejujuran.

Mengetahui Bagaimana Eksistensi Hukum Islam Dan Pembentukan Hukum Di Indonesia

Swara Jalanan - Opini kali ini sesuatu yang perbincangan yang sangat panas dalam dunia politik dan hukum akan Mengetahui Bagaimana Eksistensi Hukum Islam Dan Pembentukan Hukum Di Indonesia. Sebagaimana diketahui, bahwa eksitensi Hukum Islam sudah dikenal di Indonesia jauh sebelum masuknya pemerintah Kolonial Belanda disamping Hukum Adat  yang merupakan hukum asli Indonesia. Dalam konteks ini, tentunya keberadaan Hukum Islam di Indonesia integral dengan menyebarnya agama Islam di nusantara dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam.



Secara empirik Hukum Islam merupakan hukum yang hidup (the living law)[1] dalam masyarakat Indonesia mulai sejak masuknya Islam ke nusantara (Indonesia) yang menurut JC.Van Leur sejak abad ke -7[2]. Catatan JC Van Leur itu membuktikan sebenarnya Hukum Islam sudah dikenal jauh sebelum masuknya Belanda ke Indonesia. Persoalannya kemudian tentu keberadaan Hukum Islam itu tergantung pada penyebaran ajaran Islam pada waktu itu, sehingga kemudian pembicaraan mengenai Hukum Islam lebih banyak diawali pada zaman pemerintahan kolonian Belanda. Kemungkinan terbesar termajinalkan Hukum Islam pada zaman Belanda merupakan akibat panjang dari pola politik jajahan dan penetrasi dari politik hukum kolonial Belanda, serta rekayasa ilmiah kaum intelektual Belanda yang secara sistematik memarjinalkan Hukum Islam [3].


Sebagai dampak dari politik pemerintah kolonial Belanda itu, hampir semua bidang hukum Islam baik pidana maupun perdata sudah pernah berlaku sebagai hukum dalam kerajaan di Nusantara, tetapi kemudian dalam perkembangannya dianulir oleh Belanda. Bahkan termasuk aspek pidananya yang telah berlaku di kerajaan Nusantara pernah dihimpun oleh pemerintah kolonial Belanda sendiri sebagai panduan pejabat pemerintahan dan hakim dalam penyelesaian perkara antara orang Islam di landraad yang dikenal dengan compendium. Misalnya pada tahun 1747 Compendium Mogharaer Code diterbitkan di Semarang, lalu pada tahun 1759 Compedium Clootwijck di Sulawesi dan pada tahun 1761 diterbitkan Compendium Freijer. Demikian juga ilmuwan Belanda Winter,Solomon Keyzer dan terutama LWC van Der Berg menyimpulkan dalam teorinya yang terkenal, receptie in complexu bahwa hukum yang sebenarnya berlaku bagi masyarakat pribumi di Nusantara adalah hukum Islam[4].


Sejalan dengan pesatnya penyebaran ajaran Islam di wilayah nusantara dan makin hari makin luas dan makin banyak penganutnya, pemerintah kolonial Belanda tidak bisa lagi membendung dengan hanya sekedar memainkan politik hukum kolonial seperti yang sudah ada. Terlebih lagi pada beberapa daerah ajaran Islam tampak dengan penganutnya yang kuat dan telah menerapkan Hukum Islam dalam beberapa bidang, misalnya perkawinan dan warisan seperi di Minangkabau (Sumatera Barat) dan Aceh. Kemudian, pada tahun 1760 kebijakan politik hukum pemerintah Belanda mengeluarkan residentie der Islamicsh untuk menjamin pelaksanaan hukum keluarga Islam, yang antara lain menyebutkan hakim melandaskan hukumnya pada undang-undang agama (goedsdienstigewetten).[5]. Namun demikian, sejalan dengan misi dan karakaternya sebagai penjajah, pemerintah Kolonial Belanda - lagi-lagi demi kepentingan kolonial oleh Souck Hurgronye disusun teori baru yaitu receptie theorie yang kemudian dimantap-kembangkan oleh Van Vollenhoven.Teori ini telah memutar-balikan fakta, karena menganggap Hukum Islam hanya berlaku ketika diterima (di-receptie) oleh hukum adat. Dengan demikian bagi penganut agama Islam belum tentu tunduk pada Hukum Islam [6]. Teori yang disebut oleh Hazirin\ sebagai teori iblis ini, kemudian dikukuhkan dalam Indische Staatregeling (IS) Saatblaad 1929 Nomor 212

Meskipun kemudian dalam perjalanannya Hukum Islam hidup berdampingan dengan Hukum Adat dan hukum kolonial sendiri, akan tetapi Teori Receptie yang diperkenalkan Snouck Hurgronje --atau sebutan Hazairin sebagai “teori iblis”- yang dilatar belakang pandangan adanya pertentangan antara Hukum Islam dan Hukum Adat, dibantah oleh antara lain Sajuti Thalib yang mengatakan bahwa Hukum baru berlaku jika ia tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Sajuti Thalib mengambil contoh peranan hukum Islam di Minangkabau: “Adat bersendikan Syara’, syara’ bersendikankan Kitabullah.”

Sekilas histori perjalanan Hukum Islam di Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, maka Hukum Islam sebagaimana juga halnya dengan Hukum Adat adalah juga hukum yang hidup (The Living Law) dalam masyarakat Indonesia dan menjadi bagian yang integral dari kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Meskipun dalam faktanya tidak seluruh aspek Hukum Islam berlaku sebagai hukum positif di Indonesia dan hal yang sama juga terjadi pada Hukum Adat sebagai hasil dari politik hukum yang dijalankan pemerintah Kolonial Belanda pada masa dahulu.

Didalam praktek beberapa Pengadilan Negeri tetap menerapkan Teori Receptie. Dalam perkembangannya sekarang, Hukum Islam tidak saja mengatur masalah perkawinan dan warisan tetapi juga meluaskan pengaruhnya ke bidang hukum ekonomi seperti perbankan, asuransi dan pasar modal. Undang-Undang Perbankan Indonesia, misalnya, telah menetapkan bahwa bank tidak saja menjalankan usahanya berdasarkan bunga tetapi juga dengan cara lainnya. Cara lain tersebut misalnya bagi hasil yang dijalankan oleh Bank Syariah. Dibidang Tata Negara, perkembangan politik dalam negeri yang melahirkan otonomi daerah Khusus Nangro Aceh Darussalam.[7]

Dengan demikian, berlakunya Hukum Islam di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian, Hukum Islam telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.

Dalam konteks keterbatasan Hukum Islam sebagai hukum positif (hukum nasional), tidak berarti Hukum Islam stagnan. Sebab, hukum nasional merupakan hukum yang dibangun oleh negara dan berlaku bagi seluruh warga negara dari negara yang bersangkutan. Oleh karenanya untuk membentuk hukum nasional harus mencerminkan norma moral masyarakat yang diangkat menjadi norma hukum yang mengikat seluruh warga negera dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[8] Di samping itu, menurut Paul Scholten, pembuatan hukum nasional juga harus dengan memahami nilai-nilai dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang kepadanya hukum akan diberlakukan.[9]

Kebijakan serupa itu tampak dalam beberapa konsep pembangunan hukum nasional yang dirumuskan dalam GBHN pada masa berkuasanya pemerintahan Orde Baru, demikian pula pada masa pemerintahan pasca reformasi Hukum Islam diwadahi dalam perundang-undangan nasional sebagai hukum positif. Sehingga benar apa yang dikemukakan Moh. Koesnoe, bahwa hukum nasional sebagai hukum yang masih bersifat hybrid.[10] Dalam GBHN 1999 misalnya yang antara lain menegaskan;

1.       Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum;
2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial Belanda dan juga hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak-adilan gender, dan ketidak-sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui
program legislasi.

Mencermati pembangunan hukum dalam GBHN tahun 1999 tersebut yang sudah menempatkan pembangunan hukum sebagai sub-sistem dari pembangunan nasional – pembangunan hukum yang otonom-- dan bukan lagi sebagai sub sistem dari pembangunan politik, sebenarnya membuka ruang dan kesempatan bagi hukum agama, terlebih hukum Islam untuk mengisi atau setidak-tidaknya menjiwai hukum nasional, terutama melalui proses legislasi.

Meskipun demikian, pembangunan hukum, termasuk pembangunan Hukum Islam, menghadapi sejumlah persoalan, yang bukan saja berupa persoalan teknis, tetapi lebih jauh dari itu, yakni berkaitan dengan persoalan paradigma konsepsi pembangunan hukum dan penerapan legislative theory. Artinya, sebagai dampak pertarungan pemilihan konsepsi pembangunan hukum berdampak pada proses pembuatan hukum melalui legislasi yang lamban dan kalah cepat dibanding dengan perkembangan masyarakat yang membutuhkan jawaban hukum melalui peraturan perundang-undangan. Akibatnya hukum sebagai produk legislatif selalu tertinggal di belakang perkembangan sosial. Interaksi timbal balik pembangunan hukum dengan perubahan sosial ( mutual interactive between social change and law development) menjadi tercecer. [11]

Pembentukan hukum sangat pokok pada sebuah negara, apalagi bagi sebuah negara yang menyatakan dirinya negara hukum. Persoalannya kemudian, mengapa seringkali terjadi sebuah hukum –peraturan perundang-undangan-- yang sudah dibentuk tidak efektif.. Bahkan belakangan ada gejala sebuah undang-undang yang sudah ditetapkan masa berlakunya singkat, lalu diganti atau sekurang-kurang direvisi kembali dalam waktu tergolong singkat. 

Pembentukan hukum (undang-undang-pen) adalah penciptaan hukum baru dalam arti umum. Pada umumnya hal itu berkaitan dengan perumusan-perumusan aturan-aturan umum, yang dapat berupa penambahan atau perubahan aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya. Disamping itu, pembentukan hukum juga dapat ditimbulkan dari keputusan-keputusan konkret (hukum preseden atau yurisprudensi), juga dapat terjadi berkenaan dengan tindakan nyata dengan suatu tindakan yang hanya terjadi sekali saja (einmalig) yang dilakukan oleh pihak yang berwenang atau organ-organ pusat berdasarkan konstitusi (pemerintah dan parlemen).[12]

Dalam konteks pembentukan undang-undang itu, Saldi Isra mengemukakan, bahwa sebagai sebuah fungsi untuk membentuk undang‐undang, legislasi merupakan sebuah proses (legislation as a process)  Oleh karena itu, Woodrow Wilson dalam bukunya “Conggressional Government” mengatakan bahwa legislation is an aggregate, not a simple production. Berhubungan dengan hal itu, Jeremy Bentham dan John Austin mengatakan bahwa legislasi sebagai “any form of lawmaking” Dengan demikian, bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga legislatif untuk maksud mengikat umum dapat dikaitkan dengan pengertian “enacted law”, “statute”, atau undang‐undang dalam arti luas. Dalam pengertian itu, fungsi legislasi merupakan fungsi dalam pembentukan undang‐undang.[13]

Mencermati pembentukan undang-undang di Indonesia tidak jarang menjadi ajang perdebatan –pertarungan para politisi--, ketimbang mendalami substansi yang akan diatur dalam sebuah undang-undang yang akan dibentuk. Alih-alih mereka memikirkan teori pembentukan undang-undang, yang ada adalah apa yang mereka pikirkan. Kepentingan dan persaingan di dalam tubuh lembaga legislative, atau apa yang oleh Gregory R. Thorson[14] sebagai telah menghasilkan berbagai dugaan/prediksi tentang banyak sisi dari proses legislative (pembentukan undang-undang).

Beberapa waktu belakangan dalam kaitannya dengan pembentukkan undang-undang, pengunaan teori legislative berjalan integral dengan upaya pengembangan kemampuan anggota legislative dalam membentuk undang-undang. Craig VoldenAlan E. Wiseman misalnya menyebutkan, the fact that some lawmakers are better able to formulate solutions to public policy problems and move those solutions through the legislative process could be a keystone to new theoretical developments on the workings of Congress[15]. Hal ini pemikiran dalam pembentukan undang-undang tidak lagi sepenuhnya difokuskan pada pemelihan pada teori yang cocok dan ideal, tetapi sekaligus mendorong optimalisasi kemampuan pembentuk undang-undang dalam perspektif mewujudkan lembaga legislative yang efektif.

Perkembangan yang demikian menjadi relevan dengan apa yang sedang berlansung di Indonesia, ketika mencermati padang surut pembentukan hukum di Indonesia dari satu rezim pemerintahan ke rezim pemerintahan lainnya, menampakkan suatu gejala yang berbeda dengan beberapa kelemahan –kesalahan—negara berkembang terkait dengan pembentukan hukum. Persoalan pembentukan hukum di Indonesia tidak hanya seperti yang digambarkan Jan Michiel Otto[16], yang meneropong bagaimana penggunaan teori pembentukan undang-undang dalam upaya peningkatan mutu hukum dan pembangunan pada negara-negara berkembang dengan segala dinamikanya.

Berbagai pertanyaan –untuk tidak mengatakan kecurigaan—pembentukan hukum di Indonesia dibawah pengaruh kekuatan –kepentingan—asing melalui beberapa saluran yang memungkinkan untuk memainkan perananya dalam pembentukan hukum di Indonesia, terdapat pula ketidak-jelasan pilihan atas penggunaan teori pembentukan undang-undang disetiap kali melakukan pembentukan hukum.  Hal ini tampaknya belum memperlihat perkembangan yang berarti meskipun sudah ada UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang di Indonesia. Persoalan kemampuan anggota legislatif dalam membentuk undang-undang sampai hari masih menjadi persoalan tersendiri di Indonesia. Hal ini terlebih lagi jika dikaitkan dengan roformasi dan perubahan paradigm fungsi legilastif, maka masalah pembentukkan undang-undang di Indoensia akan semakin kompleks.

Ketidakpastian, kelemahan dan konflik akan timbul jika dalam penyusunan (pembentukan) suatu rancangan undang-undang tidak memperhatikan aspek juridis, filosofis dan sosiologis secara cermat karena masyarakat Indonesia sangat pruralistik.[17] Kondisi ini sekaligus menjadi bagian yang dihadapi Hukum Islam dalam perjalanannya sebagai suatu sistem hukum yang hidup di Indonesia. Dan karena itu pula, tulisan singkat ini tentu hanya sebuah pengantar pada pengakajian lebih jauh atas eksistensi hukum Islam di Indonesia pada masa datang.*
Oleh : Boy Yendra Tamin

Sumber Hukum


[1] Said Agil Husein Al Munawwar, 2004,Islam dalam Pluralitas Masyarakat Indonesia, Kaifa,Jakarta, hal. 176
[2] Ahmad Mansur Suryanegara, 1995, Menemukan Sejarah, Mizan, Bandung, hal. 74-76. Lihat juga; Hassan Muarif Ambary, 1998, Menemukan Jejak Arkeologis dan Historis Islam, Logos, Jakarta, hal. 56-58
[3] Bustanul Arifin, 1999, Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional, Gema Insani Press, hal33.

[4] Said Aqil Husein Al Munawwar, op. cit. hal. 271 dan lihat juga Samsul bahri, Pelembagaan Hukum Islam, Program Pascasarjana Universitas Muhamadiyah Surakarta, 2006 hlm
[5] Ismail Sunny, 1996, Kompilasi Hukum Islam Ditinjau dari Teori Hukum, dalam Tim Ditbinbapera, 1996, Berbagai Pandangan Mengenai Kompilasi Hukum Islam, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, hal. 56. Lihat juga Said Agil, op. cit. hal. 214.
[6] Erman Rajagukguk, Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme, makalah pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung ke-37, 2 April 2005
[7] Erman Rajagukguk, ibid
[8] Rifyal Ka’bah, op. cit. hal. 216
[9] Bustanul Arifin, 2001, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 36
[10] Mohammad Koesnoe, 1993, Pembentukan Hukum Nasional, dalam Varia Peradilan Nomor 129, PP- IKAHI, Jakarta, hal. 173
[11] Yahya Harahap, 1992, Peran Yurisprudensi sebagai Standar Hukum, dalam Di Muhammad (Ketua Tim), 1995, “Pustaka Peradilan Jilid VIII”, Mahkamah Agung, Jakarta, hal. 92.
[12] Meuwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, teori hukum dan Filsafat Hukum, penerjemah B. Arief Sidharta, PT. Refika Aditama;2008 hlm 9
[13] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; 2009 hlm 106.
[14] Gregory R. Thorson, Rule Assignment in the Postreform House: A Test of Three Competing Theories of Legislative Organization, Congress & The Presidency Volume 34 Number 2 Autumn 2007 page 33.
[15] Craig VoldenAlan E. Wiseman, Legislative Effectiveness in Congress, The Ohio State University March 2009, http://psweb.sbs.ohio-state.edu/faculty/cvolden/VW_legeffect.pdf

[16] J.M. Otto,W.S.R. Stoter & J.Arnscheidt, “Using Legislative Theory to Improve Law and Development Projects, RegelMaat afl. 2004/4

[17]Komisi Hukum Nasional, Kebijakan Reformasi Hukum”, penerbit KHN;2003, hlm 60

Dunia Hukum Bisa Sebagai Alat Pendekatan Pembaharuan Masyarakat

Swara Jalanan - Opini kali ini yang sangat menarik bagi kita yang belum mengetahui dunia hukum ternyata Dunia Hukum Bisa Sebagai Alat Pendekatan Pembaharuan Masyarakat. Konsepsi pemikiran hukum sebagai social engineering di Indonesia tidak persis sama dengan yang dikembangkan ditempat asalnya. Law as a tool of social engineering di Indonesia lebih dikenal dengan istilah “hukum sebagai alat/sarana pembaharuan masyarakat” suatu penyebutan yang dikembangkan oleh Muchtar Kusumaatmadja berserta dengan  konsepsinya.

Alasan untuk lebih menyukai sebuat “alat pembaharuan masyarakat” atau “sarana pembaharuan masyarakat” antara lain dikarenakan kata engineering (perekayasaan) seringkali dikonotasikan dengan hal-hal yang berbau negative.

Sebagaimana dipahami, bahwa konsepsi hukum sebagai alat pekerakayasaan masyarakat yang dikembangkan Rescoe Pound dan para pelopor aliran pragmatig legal realism di Amerika adalah tidak persis sama dengan apa yang dikembangkan di Indonesia. Sebagaimana dikemukakan Muchtar Kusumaatmadja, bahwa konsepsi hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat hanya memiliki kemiripan dengan law as a tool of engineering yang di negara-negara Barat pertama kali dipopulerkan oleh apa yang dikenal sebagai aliran pragmatig legal realism. Hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat dikatakan hanya di-ilhami oleh teori “tool of social engineering.

Pengembangan konsepsi hukum sebagai sarana/alat pembaharuan masyarakat di Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya dari pada tempat kelahirannya sendiri karena beberapa hal;

Pertama, lebih menonjolkan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia, walaupun jurisprudensi juga ada memegang peranan, berlainan dengan keadaan di Amerika Serikat dimana teori Pound itu ditujukan terutama pada peranan pembaharuan dari  pada keputusan-keputusan pengadilan , khususnya keputusan Supreme Court sebagai Mahkamah Agung tertinggi.

Kedua, Sikap yang menunjukan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat menolak aplikasi “machanistis” dari pada “law as a tool of social engineering. Aplikasi mekanistis demikian digambarkan dengan tool akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dari pada penerapan “legisme” yang dalam sejarah hukum di Indonesia (Hindia Belanda) telah ditentang dengan keras. Dalam pengembangannya di Indonesia, maka konsepsi (teoritis) hukum sebagai alat atau sarana pembaharuan ini dipengaruhi pula oleh filsafat budaya dari Northrop dan pendekatan “policy oriented dari Laswell dan Mc.Douglas.

Ketiga,   Apabila dalam pengertian “hukum” termasuk pula hukum internasional, maka kita di Indonesia sebenarnya sudah menjalankan asas hukum sebagai landasan kebijaksanaan hukum. Dengan demikian maka perumusan resmi itu sesungguhnya merupakan perumusan pengalaman masyarakat dan bangsa Indonesia menurut sejarah. Perombakan hukum dibidang pertambangan  (termasuk minyak dan gas bumi); tindakan-tindakan dibidang hukum laut, nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda dan lain tindakan dibidang hukum sejak tahun 1958 yang bertujuan mengadakan perubahan-perubahan mendasar merupakan perwujudan dari aspirasi bangsa Indonesia yang dituangkan dalam bentuk hukum dan perundang-undangan.

Konsepsi hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat yang dikembangkan di Indonesia, menurut hemat kita adalah sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia. Lebih-lebih konsepsi hukum yang dikemukakan Pund sekarang ini pun sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan masyarakat ke-kinian. Tetapi ide dasarnya menurut hemat penulis  masih tetap berguna.

Kenyataan yang lebih jauh, seperti yang diungkapkan Koopmans, bahwa pembentuk undang-undang pertama-tama atau primer tidak lagi mengarah kepada melakukan kodifikasi melainkan melakukan modifikasi (de wetgever street niet meer primair naar codificate maar naar modificate). Tetapi tidaklah berarti kodifikasi hukum kedalam berbagai kitab undang-undang tidak penting atau tidak perlu, tetapi pengubahan masyarakat kearah cita-cita bangsa adalah lebih penting, lebih diperlukan. Soal fungsi hukum sebagai alat pengubahan social yang disinggung ini hanyalah sekedar untuk mendekatkan pada pemahaman yang lebih luas dan tidak sebagaimana diungkapkan ahli hukum ortodok. *Oleh: Boy Yendra Tamin   

Sumber Dunia hukum

Opini Mengenai Fungsi Hukum Sebagai Social Engineering

Swara Jalanan - Opini politik ini berasal dari salah seorang tokoh yang memiliki jiwa politik yang mumpuni. Beliau membincangkan politik sebagai media social engineering. Munculnya pemikiran hukum baru di abad modern ini boleh disebut sebagai reaksi terhadap padangan hukum tradisional atau terhadap aliran mazhab sejarah yang dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi masyarakat modern.

Gerakan kodifikasi pada zaman baru sebagai akibat dari tampilnya unsure logika manusia, ternyata kemudian melahirkan masalah yang berkaitan dengan soal keadilan. Hal ini disebabkan oleh tertinggalanya kodifikasi itu oleh perkembangan masyarakat. Kepincangan-kepincangan dalam kodifikasi seringkali tampil disebabkan oleh tidak sesuainya lagi dengan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Keadaan ini mendorong orang untuk mencari keadilan melalui filsafat hukum.

hukum
Boy Yendra Tamin
Ciri lain dari pemikiran hukum abad modern ialah timbulnya pemikiran-pemikiran hukum yang berasal dari ahli hukum yang memiliki reputasi istimewa. Keadaan sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya, ketika filsafat hukum merupakan produk dari ahli filsafat.

Satu dari beberapa pemikiran hukum abad modern itu adalah apa yang dinamakan dengan social engineering yang dikembangkan oleh Rescoe Pound. Menurut pandangan hukum modern ini, hukum berfungsi sebagai alat perekayasaan masyarakat. Dimana, betapa jauh lebih pentingnya kekuatan-kekuatan sosial yang membentuk dari pernyataan-pernyataan legal teknis dalam membentuk hukum.  Selain mengatur ketertiban masyarakat, kaidah-kaidah hukum harus membuka jalan dan saluran baru dalam system kehidupan agar tidak terjadi kepincangan-kepincangan dalam masyarakat serta ketidak adilan.

Pada masyarakat modern (terutama pada masyarakat yang membangun dengan system berencana)  hukum harus berorientasi ke masa depan, bukan sebaliknya. Konsepsi hukum sebagai alat social engineering adalah suatu konsepsi hukum yang member kemungkinan untuk itu. Sebab tugas hukum menurut paham ini adalah untuk mempersiapkan norma-norma baru yang akan harus berlaku bagi dan dalam keadaan yang mengubah kemungkinan antar manusia  yang lama menjadi manusia yang baru. Dalam menentukan norma-norma baru  itu hukum senantiasa harus mengusahakan cara dan penyelesaian masalah yang seadil-adilnya terutama bagi pihak yang lemah.

Apa yang dikemukakan di atas  hanyalah satu aspek dari pengejewantahan  konsepsi hukum sebagai social engineering. Yang terpenting bagi kita untuk kesempatan ini adalah ide dasar dari pemikiran hukum itu sebagai social engineering dan bagaimana hukum dalam tugasnya menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat sosial yang terus berubah dan kebutuhannya juga semakin kompleks.

Dalam suatu formula yang sekarang menjadi klasik, Rescoe Pound melukiskan bahwa tugas pokok pemikiran modern mengenai hukum adalah “rekayasa sosial”. Dalam banyak karangan Pound berusaha untuk memudahkan dan menguatkan  tugas rekayasa sosial  ini dengan merumuskan dan menggolongkan kepentingan-kepentingan sosial, yang keseimbangan menyebabkan hukum berkembang. Pound menggolongkan kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam tiga golongan; Pertama, kepentingan-kepentingan umum; Kedua, kepentingan –kepentingan sosial dan; Ketiga, kepentingan-kepentingan induvidu.

Bagi Friedman, nilai dari pengelompokan serupa itu dari Pound dan berserta pengelompokan yang dikembangkan pengikut-pengikut Pound adalah; Pertama, pengelompokan itu melanjutkan pemikiran yang dimulai Jhering dan Bentham, yakni pendekatan hukum sebagai sarana menuju tujuan sosial dan alat dalam perhubungan sosial; Kedua, pengelompokan semacam itu sangat membantu untuk memperjelas dalil-dalil yang tidak jelas, untuk menjadikan pembuat undang-undang dan praktisi hukum yang menyadari prinsip-prinsip dan nilai-nilai dalam tiap soal khusus. Jadi bantuan penting dalam menggabungkan prinsip dan praktek.

Dengan demikian jelas, bahwa konsepsi hukum sebagai social engineering tampak berusaha untuk mendefenisikan nilai-nilai hukum yang terpenting dari masyarakat “beradab”. Tetapi disadari pula sebagaimana juga Pound, bahwa ada bahaya dalam penilaian yang lengkap tentang pengelompokan-pengelompokan sebagai kepentingan induvidu, umum dan sosial, Kepentingan induvidu dan sosial itu sendiri merupakan persoalan konsepsi-konsepsi politik yang berubah-ubah. Banyak kepentingan masuk kategori berbeda-beda. Tetapi jika diamati secara menyeluruh yang lebih penting dari pemikiran hukum baru ini, bukanlah pada dalil-dalil hukum masyarakat yang dikemukakan Pound. Melainkan adalah ide dasar dari pemikiran hukum itu sebagai social engineering. Tidak terlalu penting mempertentangkan dalil-dalil hukum (hukum perdata) yang dikemukakan Pound dengan penggolangan kepentingan-kepentingan yang diajukannya. Karena ternyata dalam perkembangan hukum dewasa ini menunjukan adanya unsure saling memasuki antara hukum perdata dan hukum public dan terlihat batas yang kabur antara keduanya.

Sebagaimana dikemukakan Friedman, bahwa yang jelas Pound telah berusaha untuk mendefenisikan hukum yang terpenting dari masyarakat beradab, karena pengertian beradab itu mengandung unsure penilaian pribadi, maka jelaslah bahwa nilai-nilai masyarakat beradab bukan dalil-dalil mutlak yang tidak tergantung dari waktu dan pengalaman sosial, tetapi dalil-dalil masyarakat beradab “ dizaman dan waktu kita”.

Bila dipahami ide dasar dari pemikiran hukum sebagai social engineering, barangkali  tidak akan ditemui kesulitan jika perumusan lebih lanjut didasari oleh suatu pedoman yang universal  dan memuat norma yang universal pula. Artinya dalil-dalil hukum masyarakat sosial yang hendak dirumuskan tidak bertolak dari penilaian pribadi. Dengan adanya suatu pedoman yang telah menjadi paham umum, maka perumusan konsepsi hukum sebagai social engineering akan menjadi suatu kekuatan yang besar dalam pembangunan hukum suatu masyarakat bangsa dengan perubahan  dan kebutuhannya.

Selanjutnya, suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan selalu berada dibawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara-cara untuk memperngaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu , dinamakan social engineering atau social planning.  Setidaknya dengan pemahaman kita terhadap apa yang dinamakan social engineering akan mengantarkan kita pada pemahaman yang lebih baik terhadap konsepsi hukum sebagai social engineering.

Rescoe Pound di dalam merumuskan teori kepentinganny, ia memandang hukum yang mencerminkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang teratur baik. Dalam kenyataannya, hukum adalah bentuk “enjinering sosial” dalam masyarakat beradab. Pound mengemukakan;

Tujuan memhami hukum dewasa ini adalah untuk memikirkan hukum sebagai suatu institusi sosial yang dapat memenuhi keinginan sosial – dengan memberikan pengaruh sebanyak mungkin dan dengan pengorbanan yang sedikit-dikitnya sepanjang keinginansemacam itu dapat terpenuhi atau tuntutan semacam itu terpengaruhi oleh ketertiban tingkah laku manusia melalui masyarakat yang terorganisasi secara politis. Untuk tujuan sekarang ini saya merasa puas melihat dalam sejarah hukum tentang catatan suatu pengakuan dan pemenuhan yang terus menerus lebih luas dari kebutuhan atau tuntutan atau keinginan  manusia melalui control sosial.  Suatu pemantapan yang lebih efektif dari kepentingan sosial; suatu peniadaan pemborosan  serta penghindaran perselisihan dalam kenikmatan manusia akan kebaikan eksistensi –dengan pendek kata—suatu enjinering sosial yang terus menerima lebih besar dayanya.[i]

Dengen mencermati beberapa hal mengenai fungsi hukum sebagai social engineering itu, maka jelaslah bahwa pemikiran hukum sebagai social engineering yang diinginkan adalah bagaimana hukum tidak lagi berjalan dibelakang mengikuti dan membunti perkembangan masyarakat, tetapi berjalan di depan dan memimpin perkembangan masyarakat serta perubahan sosial. Artinya, dengan meletakan fungsi hukum sebagai social engineering, maka hukumlah yang membentuk kebiasaan dalam masyarakat. * Oleh Boy Yendra Tamin

Dengan adanya opini tersebut semoga bisa berfikir secara logika menurut fakta dan bukti yang akurat dan bisa berfikir jenius untuk menyelesaikan problem di dunia politik, semoga bermanfaat.